Hujan deras yang mengguyur kawasan Titik Nol pada
saat sore hingga malam pergantian tahun pada Senin (31/12) tidak membuat
dua seniman Jogja, Nasirun dan Tarman, berhenti menciptakan karya seni rupa.
Justru mereka berdua bersemangat untuk melukis bersama di depan Gedung Agung
Yogyakarta.
Inilah “ritual” seni rupa yang dilakukan Nasirun da
Tarman ditengah kegalauan masyarakat yang resah menyambut tahun baru
namun harus diiringi dengan hujan deras. Nasirun menjelaskan, apa yang ia
lakukan bersama Tarman sebagaipenanda pergantian tahun yang dilakukan pelaku
seni.
“Maka untuk menadainya kami melukis di ruang terbuka
sebagai bentuk sebuah prosesi kebudayaan,” kata Nasirun pada Selasa (1/1).
Menurut Nasirun, bukan hanya mengenai prosesi kebudayaan
saja mengapa ia melukis bersama Tarman ditengah hujan deras. Tapi hal itu juga
berkaitan dengan mitos. Dalam pandangan Nasirun, angka (20) 13 secara mistis
dipandang sebagai angka sial.
"Secara mistis angka (20)13 merupakan angka sial,
terlebih dalam situasi hujan deras. Karena itu kami melakukan rialat
kebudayaan. Ya semacam tumbal lah yang juga mengandung sebuah
kontemplasi," ujar Nasirun, perupa asal Cilacap, Jawa Tengah ini.
Di mulai pukul 20.00, dengan hanya memakai payung untuk
menutupi kepalanya, Nasirun mencoretkan cat di atas kanvas berukuran 2 x 3
meter. Sementara Tarman melakukan di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm. Sedang
Fira (anak Tarman) juga ikut melukis.
Setelah tiga jam melukis, Nasirun berhasil merampungkan
lukisan dengan judul "Ibu, Janganlah Menangis". Tarman memberi judul
lukisannya "Nuansa Malam (di Yogya) Yang Hujan" dengan background
gedung Kantor Pos sebagai ikon kota Yogyakarta.
Nasirun menjelaskan judul lukisan yang ia buat
terinspirasi pertemuan dirinya dengan ibu penjual minuman saat melukis. Ibu itu
menawarkan dagangan minuman di bawah guyuran hujan dan dagangannya hanya
ditutup dengan lembaran.
“Saya melihat ibu ini melakukan prosesi spiritual,"
ujar Nasirun seraya menambahkan prosesi melukis yang ia lakukan ini penting
sebagai ritual kebudayaan yang tidak dilakukan para pelaku kebudayaan. Yang
melakukan ritual tersebut justru seorang pedagang kecil di pusaran pusat
kebudayaan.
"Apakah ini artinya pelaku kebudayaan itu justru
pedagang terompet dan minuman," seloroh Nasirun seraya tertawa.
Makna dari lukisan Nasirunitu tetap mengacu pada keadaan alam, bumi yang bisa
diartikan ibu (pertiwi). Ibu (bumi) selama ini selalu memberi berkah bagi
umat Allah yang hidup di dalamnya. Untuk itu, manusia perlu merawat dan menjaga
bumi atau ibu.
Nasirun dan Tarman mengakui butuh perjuangan tersendiri untuk melukis di alam
terbuka dan diguyur hujan deras. Melukis di studio juga perjuangan yang berat.
Apalagi melukis di ruang terbuka.
"Di tonton banyak orang dan diguyur hujan deras. Cat
yang kami torehkan ke kanvas, sering tertimpa air hujan dan menetes ke bawah.
Di satu sisi, lukisan saya lebih tergambar suasana hujannya," kata Tarman.
Apa yang dilakukan Nasirun dan Tarman adalah berkolaborasi dengan alam
yang menghadirkan awan kelabu menggelayut di atas sedang mencurahkan air.
Demikian pula pertemuannya dengan sosok ibu penjual minuman asal Purbalingga.
"Semoga kolaborasi ini bisa menjadi pijakan dasar bagi hidup saya menapak
tahun 2013," kata Nasirun yang terlahir dari keluarga petani.