Minggu, 12 Mei 2013

Melukis Ditengah Hujan Deras, "Ritual Kebudayaan" Nasirun -Tarman Jelang Pergantian Tahun


 Hujan deras yang mengguyur kawasan Titik Nol pada saat sore hingga malam pergantian tahun  pada Senin (31/12) tidak membuat dua seniman Jogja, Nasirun dan Tarman, berhenti menciptakan karya seni rupa. Justru mereka berdua bersemangat untuk melukis bersama di depan Gedung Agung Yogyakarta.

Inilah “ritual” seni rupa yang dilakukan Nasirun da Tarman ditengah kegalauan masyarakat yang resah menyambut  tahun baru namun harus diiringi dengan hujan deras.  Nasirun menjelaskan, apa yang ia lakukan bersama Tarman sebagaipenanda pergantian tahun yang dilakukan pelaku seni.

“Maka untuk menadainya kami melukis di ruang terbuka sebagai bentuk sebuah prosesi kebudayaan,” kata Nasirun pada Selasa (1/1).

Menurut Nasirun, bukan hanya mengenai prosesi kebudayaan saja mengapa ia melukis bersama Tarman ditengah hujan deras. Tapi hal itu juga berkaitan dengan mitos. Dalam pandangan Nasirun, angka (20) 13 secara mistis dipandang sebagai angka sial.

"Secara mistis angka (20)13 merupakan angka sial, terlebih dalam situasi hujan deras. Karena itu kami melakukan rialat kebudayaan. Ya semacam tumbal lah yang juga mengandung sebuah kontemplasi," ujar Nasirun, perupa asal Cilacap, Jawa Tengah ini.

Di mulai pukul 20.00, dengan hanya memakai payung untuk menutupi kepalanya, Nasirun mencoretkan cat di atas kanvas berukuran 2 x 3 meter. Sementara Tarman melakukan di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm. Sedang Fira (anak Tarman) juga ikut melukis. 

Setelah tiga jam melukis, Nasirun berhasil merampungkan lukisan dengan judul "Ibu, Janganlah Menangis". Tarman memberi judul lukisannya "Nuansa Malam (di Yogya) Yang Hujan" dengan background gedung Kantor Pos sebagai ikon kota Yogyakarta.

Nasirun menjelaskan judul lukisan yang ia buat terinspirasi pertemuan dirinya dengan ibu penjual minuman saat melukis. Ibu itu menawarkan dagangan minuman di bawah guyuran hujan dan dagangannya hanya ditutup dengan lembaran.

“Saya melihat ibu ini melakukan prosesi spiritual," ujar Nasirun seraya menambahkan prosesi melukis yang ia lakukan ini penting sebagai ritual kebudayaan yang tidak dilakukan para pelaku kebudayaan. Yang melakukan ritual tersebut justru seorang pedagang kecil di pusaran pusat kebudayaan.

"Apakah ini artinya pelaku kebudayaan itu justru pedagang terompet dan minuman," seloroh Nasirun seraya tertawa.

Makna dari lukisan Nasirunitu tetap mengacu pada keadaan alam, bumi yang bisa diartikan ibu (pertiwi). Ibu (bumi)  selama ini selalu memberi berkah bagi umat Allah yang hidup di dalamnya. Untuk itu, manusia perlu merawat dan menjaga bumi atau ibu.

Nasirun dan Tarman mengakui butuh perjuangan tersendiri untuk melukis di alam terbuka dan diguyur hujan deras. Melukis di studio juga perjuangan yang berat. Apalagi melukis di ruang terbuka.

"Di tonton banyak orang dan diguyur hujan deras. Cat yang kami torehkan ke kanvas, sering tertimpa air hujan dan menetes ke bawah. Di satu sisi, lukisan saya lebih tergambar suasana hujannya," kata Tarman.

Apa yang dilakukan Nasirun dan Tarman adalah  berkolaborasi dengan alam yang menghadirkan awan kelabu menggelayut di atas sedang mencurahkan air. Demikian pula pertemuannya dengan sosok ibu penjual minuman asal Purbalingga.

"Semoga kolaborasi ini bisa menjadi pijakan dasar bagi hidup saya menapak tahun 2013," kata Nasirun yang terlahir dari keluarga petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar